Aku menemukan ketentraman setiap mengenang puisi-puisi yang kutulis untukmu. Meski di satu sisi aku membencinya.
Aku membenci ketakberdayaan yang
menderaku seolah aku memang dicipta untuk menjadi laki-laki tak berdaya
yang tak bisa apa-apa. Aku benci kepengecutan yang entah sejak kapan
kujadikan teman. Aku benci menyadari bahwa aku pernah begitu rapuh.
Aku benci diriku yang tak pernah berani berkata jujur lalu mengambil tanggung jawab atas perkataan jujur itu.
Tapi bukankah setiap yang terjadi di muka
bumi ini ada di atas rancangan dan kepastian-Nya? Maka sebesar apa pun
kebencianku, aku akan tetap mensyukurinya. Hanya itu satu-satunya cara
untuk bisa tetap tersenyum, sambil terus melangkah menjalani hidup
dengan mata yang menyala.
Bahwa kita pernah tak saling bicara.
Bahwa aku pernah begitu khawatir menyalahartikan rasa. Bahwa aku pernah
mengabadikan ketakberdayaan itu dalam sebuah surat dan kini bisa tersenyum saat membacanya:
Kali ini, biarkan aku bicara langsung
pada jiwamu: tanpa sekat, tanpa tedeng, tanpa border. Untuk menanyakan
apa-apa yang khawatir telah kusalahartikan. Tentang siapa merindukan
siapa. Tentang siapa mengharapkan apa. Adakah kata ‘saling’ terkandung?
Atau adakah hukum aksi reaksi berlaku secara positif di sana?
Kau pernah mendengar cerita tentang
orang-orang yang dibuali perasaannya sendiri? Ada buncahan suka di sana,
yang nanti—secara teratur atau tiba-tiba—akan disadari, bahwa itu semua
telah menenggelamkan jiwa mereka dalam kesemuan. Merasakan apa-apa yang
sebenarnya tak pernah ada. Atau ada, tapi tak sebesar itu. Lalu, atas
nama rasa malu pada dirinya sendiri, perasaan yang tidak pernah tahu
apa-apa itu dibunuh. Mati lalu dikubur. Tapi tahukah kamu, bahkan semua
reaksi sederhana itu tak semudah saat dituliskan?
Jadi biarkan aku bicara langsung pada
jiwamu, tanpa kau halang-halangi dengan ekspresi kecil atau celetukan
ringanmu. Meski harus kuakui aku menyukainya: kata-kata lugu yang kau
rangkai tanpa pretensi, kau ucap seolah tanpa motif, tapi memikat. Aku
perlu tahu, tapi aku tak butuh mulutmu berkata-kata. Hanya ingin jiwamu
yang bercerita.
Ya, aku perlu tahu.
Meski tak selamanya pengetahuan membuatku nyaman.
Aku hanya takut salah.
Apa kau juga ingin bicara pada jiwaku?
Apa kau juga ingin bicara pada jiwaku?
Betapa lugunya pertanyaanku waktu itu. Pertanyaan paling bodoh di dunia.
Laki-laki yang bertanya pada perempuan tentang perasaan yang disimpan
di dalam hati, sebelum terlebih dulu menyatakan perasaannya adalah
laki-laki pengecut yang bodoh. Bahwa diam untuk menyembunyikan
ketakberdayaan selalu lebih baik daripada bicara hanya untuk memamerkan
kepengecutan.
Syukurlah aku tak pernah benar-benar
menanyakan itu padamu. Mengamati keseharianmu dan mengetahui bahwa kau
baik-baik saja sudah begitu berarti buatku. Sebab kabar baikmu adalah
oksigen yang membuat api harapan tetap menyala. Dengan nyala itu aku
berjalan, menembus gelap untuk menjemput fajar.
Aku bilang gelap karena saat itu
pandanganku ditutup oleh berbagai kekhawatiran. Aku sejujurnya bingung
menyimpulkan bagaimana sebenarnya diriku waktu itu, aku menjelma menjadi
laki-laki dengan sifat kekanak-kanakan yang keterlaluan. Aku cemburu
setiap ada laki-laki lain yang membicarakanmu—siapa pun itu.
Aku benci pada siapa pun yang mencoba untuk menjodoh-jodohkanmu dengan
laki-laki lain, meski boleh jadi itu cuma candaan yang—sumpah, tak lucu
sama sekali.
Sebab aku tak pernah main-main soal rasa.
Barangkali kalimat ini terdengar seperti slogan dalam iklan mie instan,
tapi aku sungguh-sungguh. Aku tak pernah jatuh cinta begitu dalam pada
perempuan, sebagaimana aku jatuh cinta padamu. Mimpi-ku untuk kuliah di
kampus impianku telah Allah kabulkan, dan tentu saja aku tidak bisa
menolak seandainya Allah mengabulkan keinginanku untuk hidup bersamamu.
Tapi expectation, kata Shakespeare, is the root of heartache.
Harapan adalah akar sakit hati. Memelihara harapan adalah memelihara
kemungkinan untuk kecewa. Semua laki-laki sejati harus siap menanggung
konsekuensinya.
https://azharologia.com/

Tidak ada komentar